[30/7 13:31] Tazkiyatul Nafsu: 📚 TAZKIYATUN-NUFUS
🔊Halaqoh #008
📖Bab 2: Keutamaan Ilmu dan Ulama #1
🔗Keutamaan Ilmu bagian 1
👤Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
الْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِالْهُدَى إِلىَ يَوْمِ القيامة، أَمَّا بَعْدُ:
Ikhwani wa akhawati fillah rohimani wa rohimakumullahu jami’an, alhamdulillah, pada halaqoh yang ke delapan ini in Syā Allāh Ta'āla kita masuk pada bab yang kedua, bab Keutamaan Ilmu dan Ulama.
Pada bab ini tentu akan diterangkan tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan para ulama.
Berkata Syaikh DR Akhmad Farid, "Apakah itu Ilmu ? Ilmu adalah yang tegak diatas dalil. Dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu Al-Qur'an dan Sunnah yang dipahami dengan pemahaman salaful ummah".
Karena sejatinya ilmu adalah firman Allāh, sabda Rosulullah dan juga perkataan para sahabat. Tiga hal inilah yang menjadi rujukan di dalam kita mencari ilmu syar'i yang harus kita pelajari.
Adapun tentang keutamaannya, berkata Syaikh, "Disebutkan dalam al-Qur'an, diantaranya adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla: QS Al-Mujaadalah ayat 11:
.......يَرْفَعِ الله الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.......
"Niscaya Allāh akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat".
Setelah Allāh Subhānahu wa Ta'āla melihat hati hamba-hambanya, kemudian Allāh memilih diantara hambaNya untuk beriman, karena hati mereka siap untuk mendapatkan iman, hidayah, Allāh tinggikan mereka derajatnya. Dan diantara orang-orang yang beriman Allāh pilih kembali untuk menjadi orang-orang yang berilmu, mengemban agama ini. Sehingga menjadi orang yang berilmu adalah pilihan, kebaikan dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Dalam ayat yang lain juga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyebutkan tentang keutamaan orang yang berilmu ini: QS Azzumar ayat 9
.......قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ.......
"Katakanlah, apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu ?"
Tentu jawabannya adalah tidak sama, pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Karena sangat bisa dipahami bahwa sangat berbeda antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Hal ini sebagaimana yang dituturkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam :
........ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ .........
"Keutamaan orang yang berilmu diatas ahli ibadah, seperti keutamaanku diatas orang yang rendahan diantara kalian, yakni para sahabat".
Tentu ini adalah kemuliaan, dan ini adalah kedudukan yang mulia. Bagaimana tidak ?, Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, sampai Nabi mengatakan kedudukannya seperti kemuliaannya diatas ahli ibadah, seperti kemuliaan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, diatas orang yang rendahan diantara para sahabat.
Adapun dalam berita riwayat yang shohih, akan keutamaan ilmu, diantaranya sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :
..........وَمَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
"Barang siapa yang Allāh kehendaki kepadanya kebaikan, maka Allāh akan pahamkan ia agama".
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim).
Jadi orang yang paham terhadap die/ faqih, faqih dalam artian: dia faqqih mengetahui hukum-hukum fiqih, mengetahui ahkamusy-syariah. Atau faqqih dalam arti lebih dari ini. Sebagaimana ucapan Abu Darda:
من فقه العبد أن يعلم نزغات الشيطان آنى تأتيه
"Diantara kedalaman pemahaman seorang hamba, adalah mengetahui bisikan-bisikan syaiton, kapanpun datangnya".
Ini dikatakan oleh sahabat yang mulia Abu Darda radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu sebagai kedalaman pemahaman seorang hamba dalam agamanya. Sehingga fiqih fiddin, kaitannya dengan fiqih ahkamusy-syariah, hukum-hukum syariah juga yang lainnya. Itu juga dikatakan sebagai faqih.
Kalau kita simak hadits yang pertama tadi, "Barang siapa yang Allāh menghendaki kebaikan baginya, maka Allāh akan fahamkan ia agama". Ini sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullāhu Ta'āla , beliau mengatakan:
الذي لا يتعلم ولا يتفقه ما أراد الله به خيرا
"Orang yang tidak belajar dan tidak mau menuntut ilmu, tidak mau bertafaqquh fiddin, berarti dia tidak diinginkan kebaikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Diantara keutamaan ilmu yang lainnya, sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :
......... مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
"Barang siapa yang meniti jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allāh akan mudahkan baginya jalan menuju surga".
(HR. Muslim dan yang lainnya.)
Makna meniti jalan dalam rangka menuntut ilmu, disebutkan oleh Syaikh itu ada dua:
a). Meniti jalan dalam arti haqiqi, yaitu berjalan kaki menuju ke majelis-majelis orang-orang yang berilmu.
b). Meniti jalan dalam arti maknawiyah yang mengantarkan kepada dasar-dasar ilmu, seperti menghapal dan mempelajarinya.
Dan diantara makna "maka Allāh mudahkan baginya jalan menuju surga" adalah, Allāh Subhānahu wa Ta'āla memudahkan baginya ilmu yang dia tuntut, sehingga dia menempuh jalannya dan Allāh mudahkan baginya, karena sesungguhnya ilmu adalah jalan menuju surga.
Adakah penuntut ilmu, sehingga dia akan ditolong atasnya. Dengan ilmunya ia akan ditolong menuju surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Keutamaan yang begitu besar, bagi orang-orang yang berilmu, bagi orang-orang yang menuntut ilmu, karena dengan ilmunya dia berjalan menuju surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Makna yang kedua, jalan menuju surga pada hari kiamat, yaitu sirath, baik sebelum sirath ataupun sesudah sirath. Dan ilmu itu mengantarkan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla melalui jalan yang terdekat. Maka barang siapa yang meniti jalan menuntut ilmu, maka ia akan sampai kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, akan sampai pula ke surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla, melalui jalan yang terdekat.
Ilmu juga adalah petunjuk yang menunjuki manusia, yang menunjuki orang yang menuntut ilmu tadi, yang mempelajarinya, yang menkajinya di dalam kegelapan jahil, kegelapan kebodohan, kegelapan kerancuan dalam berfikir atau syubhat, dan kegelapan keragu-raguan., karena ini adalah semuanya kegelapan. Karena orang yang jahil, dia akan rancu dalam berfikir, mengira bahwa dalam ayat satu dengan ayat lainnya terjadi kontradiksi, karena kejahilannya, kedangkalan ilmunya, sehingga menganggap seolah-olah ada kontradiksi dalam firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Karena kedangkalan dalam masalah agama, menganggap seolah-olah ada kontradiksi antara al-Qur'an dan hadits-hadits yang shohih, sehingga naudzubillah sampai akhirnya menolak hadits yang shohih karena dianggap kontradiksi dengan al-Qur'an. Dan ini adalah karena kejahilan, maka dia harus belajar. Karena kejahilannya ini mengantarkan kepada kerancuan dalam berfikir. Justru mendewakan akalnya, tidak tunduk terhadap dalil, tidak tunduk terhadap firman Allāh dan tidak tunduk terhadap sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Karena sejatinya kita diberi akal oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah terbatas, akan mampu menjangkau pada hal-hal memang yang dimampuhi oleh akal ini, dan tidak akan mampu menjangkau pada hal-hal yang memang akal tidak mampu. Sehingga kita dibarengi dalam menuntut ilmu itu dengan kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Karena akal ibarat mata dan mata tidak akan mampu melihat tanpa cayaha, dan kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah cahaya. Ilmu adalah cahaya, sehingga mata mampu melihat karena ada pantulan cahaya, pantulan ilmu kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, oleh karenanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla menamakan kitabnya al-Qur'an dengan nama Nuur, yaitu cahaya, karena cahaya itu memberi petunjuk, menerangi dari kegelapan, dari kegelapan yang tadi disebutkan oleh Syaikh yaitu kegelapan kebodohan, kegelapan kerancuan dalam berfikir dan kegelapan keragu-raguan.
Demikian pula karena kegelapan keraguan, yaitu kegelapan karena kejahilannya dalam masalah ilmu sehingga dia ragu, ragu dalam perkara akhirat, ragu dalam masalah pahala, ragu dalam masalah benar, salah, ragu dalam masalah haq dan bathil. Hal ini adalah karena kejahilannya, maka harus ditopang dengan ilmu yang shohih, kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, sesuai dengan pemahaman sahabat, sesuai dengan pemahaman para salaful ummah. Mereka orang-orang yang dididik langsung oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, yang belajar langsung bersama guru yang terbaik Nabi Mahammad shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Demikian semoga berfaedah dan bermanfaat.
آخر دعوانا أن الحمد الله ربّ العالمين
والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
✏ Disalin oleh Tim Transkrip
🔁 Dapat diunduh di: http://goo.gl/I4ocdW
✅ Dimuraja'ah oleh Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
📚 Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis Syaikh Dr. Ahmad Farid)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
➡️Madrasah Ahlussunnah Waljama'ah Li I'dad Du'at Desa Bener, Kec. Tengaran, Kab. Semarang
➡️Donasi untuk Dakwah ke Bank CIMB NIAGA
Rekening nomor 535 01 32118 111
📝 kode bank CIMB NIAGA 022.
Pemberitahuan kiriman sms/wa ke no. 0858 6532 7524
[6/8 08:01] Tazkiyatul Nafsu: 📚 TAZKIYATUN-NUFUS
🔊 Halaqoh #009
📖 Bab 2: Keutamaan Ilmu Dan Ulama #2
🔗 Keutamaan Ilmu bagian 2: 🌴
👤 Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ الله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. لا نبيّ ولا رسول بعده. أَمَّا بَعْدُ؛
Ikhwanī wa akhawatī fillah rohimani wa rohimakumullah jami’an, saudara dan saudariku sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, dimanapun anda berada, pada halaqoh yang ke sembilan ini, masih pada kelanjutan bab yang kedua, yaitu Keutamaan Ilmu Dan Ulama, yaitu masih pada riwayat-riwayat tentang Keutamaan Ilmu Dan Ulama.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا ...
Dari Abdullah bin Amru bin Al Ash [lalu aku dengar ia] berkata, 'Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla tidak mencabut ilmu secara langsung dari dada manusia, akan tetapi Allāh Subhānahu wa Ta'āla mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Maka apabila tidak tersisa seorang alim pun, manusia akan menjadikankan pemimpin-pemimpin orang-orang yang bodoh. Maka mereka pemimpin-pemimpin yang bodoh itu akan ditanya, dan mereka pun akan memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan”.
(HR Bukhori dan Muslim)
Adapun tentang yang dimaksud dalam hadits ini, Ubadah bin Shomit radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu ditanya tentang hadits ini, beliau berkata, “Kalau kamu mau niscaya aku kabarkan kepadamu tentang ilmu yang pertama kali diangkat dari manusia”, beliau mengatakan, “yaitu: khusuk”. Inilah ilmu yang pertama kali diangkat dari manusia kata beliau.
Mengapa beliau mengatakan demikian ?
Ubadah bin Shomit radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu mengatakan demikian, karena ilmu itu ada dua macam, yaitu salah satunya ilmu yang buahnya ada pada hati manusia, yaitu ilmu tentang Allāh Subhānahu wa Ta'āla, nama-namaNya, sifat-sifatNya dan perbuatanNya yang melahirkan rasa khosyyah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan pengagungan kepada Nya, dan rasa cinta kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan harap kepada Nya, dan rasa tawakkal kepadaNya, sikap penyandaran sepenuhnya kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Dan inilah ilmu yang bermanfa’at. Inilah yang dimaksud ilmu yang pertama kali diangkat, yaitu ilmu nafi’, ilmu yang melahirkan khosyyah, ilmu yang melahirkan rasa takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Dan inilah sejatinya ilmu yang dipelajari, yakni ilmu nafi’ / ilmu yang bermanfa’at. Yaitu ilmu yang memberikan konsekuensi, untuk menjadikan seseorang semakin taat dan beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, bukan semakin jauh dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Bukan semakin membangkan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Dan inilah ilmu yang sejatinya kenapa harus dipelajari, karena ilmu dipelajari bukan karena dzat nya, bukan karena ilmu itu sendiri, tetapi ilmu dipelajari sebagai sarana atau wasilah untuk semakin taat, untuk semakin sempurna ubudiyah kita kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Karena inti diciptakan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)
“Dan tidaklah kuciptakan manusia dan jin”, kata Allāh, “melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu”.
(QS Adz-Dzariyaat ayat 56)
Dan ilmu yang bermanfaat inilah yang melahirkan khosyyah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, sehingga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memuji hamba-hambaNya, karena hanya orang yang berilmu inilah ini yang bisa khosyyah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
....... إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ (28) ........
“Sesungguhnya yang takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla diantara hamba-hambaNya, hanyalah orang-orang yang berilmu, al-‘ulama”.
(QS Faathir ayat 28)
(Hal itu) Karena ilmu bukan banyaknya periwayatan, bukan menyebutkan hadits-hadits saja, tapi ilmu itu yang melahirkan khosyatullah. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu :
ليس العلم بكثرة الرواية ولكن العلم خشية
“Bukannya ilmu itu dengan banyaknya periwayatan, tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.”
إنما العلم خشية
“Ilmu hanyalah rasa takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla”.
Ini juga sebagaimana yang diucapkan oleh sahabat yang mulia Abdullah Ibnu Mas’ud:
إن أقواما ِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ولكن إذا وقع في القلب فرسخ فيه نفع
“Sesungguhnya ada golongan kaum, yang mereka membaca Qur’an, tetapi bacaan mereka tidak melewati tenggorokan mereka. Andai saja bacaan qur’an mereka itu masuk dalam hati, akan menghujam kuat di hati, maka pasti ia akan bermanfa’at".
Dan berkata Hasan Al Basri rahimahullah, “Ilmu itu ada 2 macam, yaitu:
Ilmu yang ada di lisan
Yaitu ilmu yang akan menghujat anak keturunan Adam. Sebagaimana dalam hadits, “Al-Qur’an itu yang akan membelamu atau yang akan menghujatmu”
(HR Muslim).
Ilmu yang ada di hati
Inilah ilmu yang bermanfaat, yang kita sebutkan tadi, ilmu yang melahirkan kosyyah, ketundukan ibadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, ilmu inilah yang melahirkan ketundukan khosyyah, ubudiyah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, melembutkan hati, tidak mempertentangkan dan mempermasalahkan aturan Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Menjadikan semakin taat dan beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Dan inilah yang tadi dikatakan oleh Ubadah bin Shomit, yang pertama kali diangkat.
Ditegaskan kembali oleh Syaikh DR Ahmad Farid, “Maka yang pertama kali diangkat dari ilmu adalah ilmu nafi’, ilmu yang bermanfaat. Yaitu ilmu bathin, ilmu tazkiyatun nufus, ilmu jiwa, yang apabila telah bercampur dengan hati, akan memperbaiki hati, menjadikan hati semakin taat, mudah menerima kebenaran, bergetar tatkala menyebutkan nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla, takut akan adzab Allāh Subhānahu wa Ta'āla, berharap untuk mendapatkan surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla, cinta, ingin berjumpa dengan Allāh Subhānahu wa Ta'āla, cinta dan ingin berjumpa dengan orang yang dicintai Allāh Subhānahu wa Ta'āla, yaitu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Inilah ilmu yang melembutkan hati, ilmu yang mampu melembutkan kerasnya hati karena noda-noda maksiat, karena pikiran-pikiran jahat. Maka apabila telah diangkat ilmu ini hingga tersisa di sana ilmu lisan. Ilmu yang ada sekedar di lisan. Pandai berbicara, mengolah kata tetapi tidak diamalkan, banyak khuthoba’nya (ahli pidato), tetapi sedikit ulamanya, banyak orang yang tulis menulis, tapi tidak bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, yang kosong dari amal, sekedar teori yang dikumpulkan dari ucapan-ucapan barat yang tidak bernilai kemanfa’atan.
Tatkala ilmu khosyyah itu telah diangkat, tatkala ilmu bathin, ilmu fil qolbi telah diangkat, maka manusia akan bermudah-mudahan, mereka tidak mengamalkan konsekuensi dari ilmu itu, tidak melahirkan tuntutan dari ilmu itu, tidak para pengemban ilmu ini, tidak pula selain mereka. Kemudian hilanglah ilmu ini, diangkatlah ilmu ini, dengan meninggalnya para pengemban, sehingga tegaklah kiamat kepada mereka yang seburuk-buruk makhluk, sejahat-jahat makhluk, yang sudah tidak mengenal lagi Allāh Subhānahu wa Ta'āla, yang keras hati mereka, sudah tidak ada lagi di hati mereka nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Sudah tidak mengenal Allāh, tidak menyebut nama Allāh, tidak mengagungkanNya. Naudzubillah, summa naudzubillah.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyelamatkan kita semua dan memberikan taufik kepada kita untuk meraih ilmu yang bermanfa’at. Yaitu ilmu yang bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan ilmu yang diamalkan. Dan semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan taufik kepada kita untuk istiqomah di atas Dien, senantiasa mempelajarinya dan mengamalkannya, meskipun orang semakin menjauhkannya.
والله تعلى و أعلم بالصواب
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين، و الحمد الله ربّ العالمين
ثم السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
✏ Disalin oleh Tim Transkrip
🔁 Dapat diunduh di: http://goo.gl/I4ocdW
✅ Dimuraja'ah oleh Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
📚 Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis Syaikh Dr. Ahmad Farid)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar